Luka

by Senin, 01 Mei 2017


Rahasia yang tak terungkap dari sang Maha Karya menjadi penantian selama manusia termakan usia. Manusia, alam semesta, dan seisinya mungkin telah bersepakat dan menciptakan rahasia pribadi dengan-Nya, sehingga salah satu diantara karyanya membuat manusia terperanga dan bertanya-tanya, apa alam semesta telah bersepakat membuat sebuah kata luka? Kemudian manusia mulai melukai dan dilukai, disamping karyanya yang begitu menakjubkan kemegahan yang diciptakan luka mampu menyita segala waktu yang tersisa, seperti pagi ini tak terasa senja telah terhampar setelah matahari mejemput malam yang berputar, tapi mengapa luka ini tak ikut pulang bersama keheningan nuansa malam dan redupnya cahaya bulan? mereka malah semakin menjalar dan menyebar melewati setiap udara yang alam berikan.

Maret telah berhasil digantikan April, satu lagi luka yang berhasil alam berikan di sela kehingan yang aku rasakan. Banyak punjangga menyairkan suatu karyanya dengan kata luka, apa aku menjadi salah satunya? Tapi aku bukan seorang punjangga, aku hanya manusia yang sedang disapa oleh perihnya lantunan luka. Mengapa? Ya mengapa? Mengapa menyembuhkan luka begitu sakit daripada lukanya itu sendiri, apa angin mulai membantu alam untuk membuat luka ini semakin perih dan semakin pedih? Mungkinkah para pujangga tidak melanjutkan untaian katanya ketika goresan luka sampai di dasar hati setiap pemiliknya? mungkin seperti yang aku rasakan hari ini, tidak ada yang bisa aku rangkai dan untai karna ngilu ini telah berhasil menjalar disekujur tubuhku yang semakin kaku. Tidak heran mengapa setiap bait puisi luka selalu ada akhir yang tidak dapat diterima dengan nalar manusia. 

Setiap kesepakatan akan ada pihak yang dirugikan atau diuntungkan, atau bahkan keduanya. Ini menjadi koleksi pertanyaanku kepada alam semesta, apa yang mereka dapatkan dari manusia yang terluka? sebuah aduan? atau sebuah rengekan dari manusia yang berhasil dilumpuhkan oleh luka dan menggongong bagai serigala yang merindukan bulan purnama? kali ini dari suatu yang jauh di tengah luka yang aku rasakan, aku tertawa bagaimana bisa manusia menangisi sesuatu yang tidak kasat mata? bagaimana bisa para pujangga menggantungkan katanya karna hanya candaan alam semesta? Mungkin pagi ini alam semesta banyak tertawa karna semakin terhampar manusia yang menangis hanya karna luka. Aku bukan mereka, aku bukan candaan alam semesta, aku bukan bagian dari kesepakatan alam semesta dan karya-Nya, aku tidak akan menggantungkan kata dalam tulisanku kali ini. Aku putuskan menutup luka ini agar alam semesta tak menyapa, aku paksakan terus berjalan kedepan walau akan sulit untuk melangkah menuju masa yang akan datang, tapi aku percaya perlahan luka ini akan hilang tanpa meninggalkan setitik bekas yang tertinggal.

Sumber Foto : http://tamsubuon.net