Coretan November

by Rabu, 24 April 2019



Rindu

Dibawah air mata bumi manusia tertawa memecah seluruh bahana.
Dibawah air mata bumi manusia tersengut-sengut dan memegang dada yang terasa lara.
Dibawah air mata bumi anganku masih setia bernostalgia dengan cerita lama.

Mungkin benar apa yang dikatakan kenangan.
Dalam setiap bulan kau akan merindukan kepergian tahun yang terus digantikan.
Dalam setiap malam kau akan merindukan dia yang sulit untuk dilupakan.

Lihatlah waktu.
Selalu memaksa mengubur setiap drama waktu lalu.
Padahal rindu selalu berseru akan namamu.

Bisakah kita bertemu? Agar rindu tak usah lagi menanti hujan jika senyumu saja mampu menghapuskan penantian.


Vespa

Aliran udara berhasil mengaburkan pandangan.
Cahaya bintang mulai menawan bila langit sudah menghitam kemudian mendatangkan bulan.
Di malam ini aku mencoba menjadi pujangga dan memperhatikanmu diatas roda dua.
Walau aku hanya dapat memberimu tumpangan dengan besi tua tapi vespa ini kurawat dengan sepenuh jiwa.

Ini bukan vespa biasa, padanya lemahku sudah bukan hal yang haru.
Dan padanya aku berharap, setelah malam ini.
Aku tidak lagi melihatmu dari kaca spion.
Tapi.
Melihatmu berada disampingku sambil menggenggam kedua tanganku dan tersenyum melihat kendaran tua yang mempersatukan kita.



Semesta

Ia duduk bersandar di atas kayu rotan.
Menatap cakrawala semakin berwarna keemasan.
Ia terpejam mencari dimana semua jawaban atas segala pertanyaan.
Ia gadis ceria yang mempunyai seribu pertanyaan untuk semesta karna keingintahuan.

Semesta...

Seperti apa Tuhan menciptakan luka?
Apa Tuhan juga menciptakan rasa kepada seseorang yang pada akhirnya memberi luka?

Jika matahari saja dengan rela memberi cahaya kepada bulan mengapa manusia tidak bisa merelekan kepergian yg hakikatnya mengundang kebahagian?
Semesta.
Jika kamu tidak bisa menjawab semua pertanyaan. Tak apa. Hanya saja. Hadirkan dia yang selalu aku semogakan, sebagai jawaban dari segala pertanyaan.Dia yang hanya menjawab dengan senyum eloknya mendekap dan menghapuskan segala kekhawatiran.


Ekspetasi Tinggi

Manusia pandai ber-ilusi
Memangku ilusi menjadi ekspetasi
Menenggelamkan dunia nyata dengan pasti

Jangan terlalu berambisi
Akan banyak yang terlewati
Ketika sibuk mencari yang terlalu sidi

Mungkin.

Ini hanya kemungkinan.
Hatimu belum sudi
Untuk disederhanakan
Ketika itu terjadi
Ekpetasi akan hanyut oleh perasaan sederhana namun mendalam

Dia

Dia
Tutur katanya indah dan elegan
Tenang dan membuat nyaman
Pahatan Tuhan memang tidak pernah mengecewakan

Dia
Karya seni terbaik yg lahir dari rahim ibunya
Beruntung kita pernah saling bersama
Walau nasib harus angkat bicara
Lalu sukar untuk berjumpa

Dia
Harmoni masa lampau
Yang masih memikat dalam otak
Sudah puas berpetualang?
Aku masih menunggumu pulang
Bersama bayangmu yang menghilang oleh garis hidup yang terus memisahkan


Jarak

Kalbu masih setia menunggu
Raga selalu ingin bersanding sebelahmu
Jarak bersorak seolah berhasil mengukir rindu

Mengkhawatirkanmu dada ini bersedu
Jika jumpa menghapus dahaga jiwa
Apakabar dengan rindu ini yang tak kenal waktu?
Menyerobot tanpa permisi saat aku terkapar
Melihat bayangmu di balik layar

Jarak hanyalah pengukur.
Katamu.

Tapi bukan jarak yang aku masalahkan.

Kamu!
Seorang manusia pandai 
Yang membuat aku mabuk kepayang diantara waktu yang kita habiskan.

Jika aku gaduh, sepi akan hilang
Kamu tidak akan kembali
Biar sepi yang membawamu pulang
Bersama rasa kasih yang hampir mati digerogoti oleh kata "Nanti"



Kebahagiaan

Kuat bukan berarti tangguh
Sendiri bukan berarti sunyi
Yang terlihat ceria bukan berarti bahagia
Yang terlihat susah bukan berarti berduka

Aku.
Hanyalah dara yang sedang menikmati marcapada
Swatantra dan bahagia
Memupuk tawa untuk mereka yang aku cinta

Terkadang.
Pilu harus aku kikis
Sepi harus aku tepis
Bukan karna impresif
Tapi tak ingin terlihat ekspresif

Kebaikan memang tak kasat mata
Tapi akan tercatat baik buruknya

Aku.
Hawa yang menciptakan bahagia
Sukarela menawarkan obat luka
Dan.
Bahagiaku adalah tawa mereka



Lilin

Di teras graha bintang ku pandangi
Di antara gelap gulita lilin menerangi
Ibu menghampiri
Akupun berfiksi

Bu.
Aku tak ingin seperti lilin
Berkorban, melebur dan hilang hayat begitu saja
Aku tak ingin layaknya lilin
Terang diantara silam, namun memudar dan digantikan

Nak.
Suatu saat kau membangun dinastimu
Ketika itu tiba
Kau akan sadar
Kau lebih dari sekedar lilin yang memudar
Berkorban sampai melebur
Memberikan cahaya untuk permaisuri dan buah hatimu 
Keringat membasuhi sekujur tubuh
Demi kerajaan yang makmur dan mujur